Dilansir dari health.detik.com, Dian Sastrowardoyo mengungkapkan jika anak pertamanya yang bernama Shailendra Naryama Sastraguna Sutowo didiagnosis autisme. Seperti apa cerita dan perjuangan yang Dian rasakan sebagai seorang Ibu? Simak yuk moms ulasan di bawah ini!
1. Dian Sastro mulai sadar anaknya autisme sejak bayi
Awal mula Dian menyadari Syailendra mengidap autisme sejak ia berusia delapan bulan. Ketika itu Syailendra mengalami keterlambatan bicara. Ini adalah salah satu ciri autisme yang sangat kental.
Umumnya anak dengan autisme yang kesulitan berbicara akan mengalami tantrum atau ledakan emosi seperti menangis, menjerit, berteriak, keras kepala, dan membangkang.
"Dia pengen sesuatu tapi dia gagal mengomunikasikan hal itu. Akhirnya jadi tantrum karena dia frustasi juga, enggak bisa bilang sebenarnya dia perlu apa," ungkap Dian.
2. Mencoba menguatkan diri saat anaknya tantrum
Kadang anaknya selalu menjadi tontonan publik saat tantrum di tempat umum atau ketika ada acara keluarga. Ia selalu berusaha mengingatkan diri sendiri untuk menjadi ibu yang lebih kuat. Tak hanya itu, Dian juga berusaha menguatkan suami dan memberi penjelasan pada keluarganya.
"Memang gini kok, memang begitu, tenang saja. Everything is okay, we are on track. Kita masih dalam proses mengedukasi diri kita maupun mengedukasi dia untuk bisa lebih baik mengkomunikasikan apa keperluannya. Enggak apa-apa, ini memang lelah tapi berikutnya lebih baik lagi, lebih giat lagi melatih dia untuk ngomong," katanya.
3. Syailendra kerap menunjukkan tingkah janggal
Menurut Dian selain tantrum, rupanya Syailendra kerap menunjukkan tingkah janggal. Ada kalanya ia bermain dengan cara yang tidak lazim. Seperti tepuk tangan, goyang-goyang di pojok ruangan sendiri, atau main dengan hal yang sama terus-menerus hingga 3 jam.
4. Dian tidak menyerah mencarikan terapi untuk anaknya
Sejujurnya Dian merasa sedih dengan kenyataan yang harus ia terima. Sebagai ibu, ia pun ingin bisa berkomunikasi dan merasakan bonding dengan Syailendra. Ia juga ingin anaknya tahu bahwa Dian sangat menyayanginya. Namun perasaan sedih ini tidak membuatnya menyerah.
Dian berusaha giat mencari solusi dengan melakukan terapi okupasi, terapi bicara, dan terapi perilaku. Terapi okupasi adalah olahraga seperti koordinasi kaki dengan lari atau jalan.
"Akhirnya kita punya kesepakatan, satu keluarga sampai eyang-eyang nya juga saya kompakin. Bagaimana kalau kita nggak memberikan apapun ke anak ini mau gak mau sampai dia minta dengan berbicara. Karena kita cuman mau mendengarkan dia ngomong dan pakai eye contact,"
5. Berkat usaha Dian, anaknya kini bebas terapi
Berkat intervensi Dian sejak usia 8 bulan untuk mencari solusi autisme Syailendra. Di usia 6 tahun, anak laki-lakinya sudah dianggap tidak memerlukan terapi lagi. Kabar baiknya, sekarang ia sudah tidak menemukan ciri autisme pada Syailendra.
Dian juga mengatakan jika kemampuan sosialnya sudah bisa meningkat, mulai bisa curhat, bercanda dengan sang adik, dan ada rasa tertarik untuk berteman.
6. Alasan Dian terbuka pada publik
Dian mengungkapkan alasannya untuk terbuka pada publik, karena ia ingin memberikan sharing positif untuk para orang tua dengan anak autisme moms.
“Kalau kita kasih banyak pertolongan untuk anak-anak ini sebenarnya ada jalan keluar kok. Anak autis secara akademis, secara sosial bisa mandiri. Insya Allah nanti pas dewasa juga mandiri secara karir dan sosial," tuturnya dengan optimis.
Dian mengaku bersyukur, berkat intervernsinya sejak dini di usia 6 tahun anaknya seperti anak normal lainnya. Semoga cerita Dian ini bisa menjadi inspirasi untuk moms yang mengalami hal serupa, sedih boleh tapi "give up" jangan ya, moms!